BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Eksistensialisme menjadi salah satu ciri pemikiran filsafat
abad ke-20 yang sangat mendambakan adanya otonomi dan kebebasan manusia yang sangat besar untuk
mengaktualisasikan dirinya. Dari
perspektif eksistensialisme, pendidikan sejatinya adalah upaya pembebasan
manusia dari belenggu-belenggu yang mengurungnya. Sehingga terwujudlah
eksistensi manusia ke arah yang lebih humanis dan beradab.
Eksistensialisme
menentang ajaran materialisme yang memperhatikan prinsip
manusia yang hanya sebagai benda. Eksistensialisme merupakan filsafat
yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Yaitu cara
manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda
dengan cara berada benda-benda. Filsafat eksistensialisme menutamakan individu sebagai faktor dalam menentukan apa
yang baik dan dan benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan
ditentukan masing-masing secara bebas.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagimana konsep filsafat pendidikan eksistensialisme?
2.
Siapa saja tokoh-tokoh filsafat pendidikan eksistensialisme?
3.
Bagaimana implikasi aliran filsafat pendidikan eksistensialisme
terhadap pesrta didik dalam pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist.
Kata exist itu sendiri adalah bahasa latin yang artinya, ex: keluar dan sistare:
berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
Filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat
eksistensialisme. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar
sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema sentral. Tokoh- tokoh yang dapat digolongkan ke dalam filsafat
eksistensi telah banyak terdapat sebelum lahirnya filsafat eksistensialisme. Adapun
yang dimaksud dengan filsafat eksistensialisme, rumusannya lebih sulit dari
eksistensi. Sejak muncul filsafat eksistensi,
cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral pembahasan filsafat,
tetapi belum pernah ada eksistensi yang
secara begitu radikal menghadapkan manusia kepada dirinya seperti pada
eksistensialisme.[1]
Dalam pandangan materialisme, baik yang kuno maupun modern, manusia
itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang
materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti kayu dan
batu, tetapi materialism mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada
prinsipnya, pada dasarnya, pada instatnsinya yang terakhir, manusia lebih
unggul ketimbang sapi, batu, pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja
dengan sapi, batu, pohon. Dilihat dari segi keberadaanya juga sama.
Ekstensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain
tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi, dan pohon juga, akan tetapi, cara
beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia: mengalami beradanya di
dunia. Manusia menghadapi dunia, dengan mengerti yang dihadapinya. Manusia
mengerti guna pohon, batu, dan salah satu diaantaranya adalah manusia mengerti
bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya adalah bahwa manusia adalah subjek,
subjek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya
adalah objek.
B.
Tokoh-Tokoh Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Ada beberapa tokoh eksistensialisme, diantaranya yaitu:
1.
Martin Heidegger
Menurut Martin Heidegger
keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui jalan ontologi, artinya jika
persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu.
Metode untuk ini adalah metodologi fenomenologis. Jadi, yang penting adalah
menemukan arti keberadaan itu.
Keberadaan manusia (desein) juga mitsein (berada
bersama-sama). Manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan
ini bersandar pada tiga hal asasi yaitu:
·
Befindichkeit (kepekaan),
diungkapkan dalam bentuk perasaan; senang, kecewa atau takut
·
Verstehen
(memahami), bahwa manusia yang dengan kesadaran akan beradanya diantara
keberadaan lain-lainnya harus berbuat sesuatu untuk menggunakan
kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya untuk member arti dan manfaat
pada dunia dalam kemungkinan-kemungkinannya.
·
Rede (kata-kata,
bicara), asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan
berkomunikasi bagi manusia.
Menurut
Martin Heidegger, manusia tidak
menciptakan dirinya, tetapi manusia dilemparkan ke dalam keberadaan. Manusia
harus tetap bertanggung jawab atas keberadaannya itu.[2]
2.
J.P. Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 dan meninggal pada
tahun 1980. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928. Pada
tahun 1929, ia mengajarkan filsafat di beberapa Lycees, baik di Paris maupun di
tempat lain. Dari tahun 1933- 1935, ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut
Francais di Berlin dan Universitas Freiburg. Tahun 1938, terbit novelnya yang
berjudul La Nausee, dan La Mur, sejak itulah karya-karyanya yang
lain di bidang filsafat.
Menurut Sartre, eksistensi
manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda dari tumbuhan, hewan, bebatuan,
yang esensinya mendahului eksistensi, seandainya mereka mempunyai eksistensi.
Di dalam filsafat idealism, wujud nyata (existence) dianggap mengikuti hakikat (essence). Jadi
hakikat manusia mempunyai cirri khas tertentu, dan cirri itu menyebabkan
manusia berbeda dari makhluk lainnya. Dan hal ini merupakan prinsip utama dan
pertama di dalam filsafat eksistensialisme.[3]
3.
Kiekegaard
Menurut Kiekegaard Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap
suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme
menolak segala bentuk kemutlakan irasioanl. Dengan demikian aliran ini hendak
memadukan hidun yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh
hal-hal yang sifatnya abstrak dan spekulatif. Atas pandangan sikap di kalangan
kaum eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau
lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom do adalah lebih banyak
menjadi ukuran dalam sikap perbuatannya.[4]
4.
Gabriel Marcel
Dalam filsafatnya, ia menyatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian,
tetapi bersama-sama dengan orang lain. Manusia memiliki kebebasan yang bersifat
otonom. Dalam hal itu, manusia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh
kejasmaniannya. Dari luar, manusia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari
dalam, manusia dikuasai oleh jasmaninya.
Manusia bukanlah mkhluk yang statis, sebab manusia senantiasa
menjadi (berproses) atau being and becoming. Manusia selalumenghadapi objek yang harus
diusahakan, seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain.[5]
C.
Implikasi Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Terhadap Peserta
Didik Dalam Pendidikan
Aliran eksistensialisme memandang siswa
sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas
pilihannya dan siswa dipandang sebagai makhluk yang utuh yaitu akal pikiran,
rohani, dan jasmani yang semua itu merupakan keutuhan dan semua itu perlu
dikembangkan melalui pendidikan. Dengan melaksanakan kebebasan pribadi, para
siswa akan belajar dasar-dasar tanggung jawab pribadi dan sosial.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist.
Kata exist itu sendiri adalah bahasa latin yang artinya, ex: keluar dan sistare:
berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
2.
Tokoh aliran eksistensialisme :
Ø Martin
Heidegger
Ø Jean Paul
Sartre
Ø Kiekegaard
Ø Gabriel Marcel
3.
Implikasi Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Terhadap
Peserta Didik Dalam Pendidikan : Aliran eksistensialisme memandang siswa sebagai
makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya dan
siswa dipandang sebagai makhluk yang utuh yaitu akal pikiran, rohani, dan
jasmani yang semua itu merupakan keutuhan dan semua itu perlu dikembangkan
melalui pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Syadali, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka
Setia, 1997.
Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad, Filsafat Umum Dari
Mitologi Sampai Teofilosofi, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2008.
[1]
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia,
1997), 127
[2]
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai
Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),334-335
[3]
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, …130-131
[4]
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008),
hal.30- 31
[5]
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai
Teofilosofi,.. 337
Tidak ada komentar:
Posting Komentar