Selasa, 17 November 2015

konsep aliran filsafat pendidikan existensialisme

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Eksistensialisme  menjadi salah satu ciri pemikiran filsafat abad ke-20 yang sangat mendambakan adanya otonomi dan  kebebasan manusia yang sangat besar untuk mengaktualisasikan dirinya.  Dari perspektif eksistensialisme, pendidikan sejatinya adalah upaya pembebasan manusia dari belenggu-belenggu yang mengurungnya. Sehingga terwujudlah eksistensi manusia ke arah yang lebih humanis dan beradab.
Eksistensialisme menentang ajaran materialisme yang memperhatikan  prinsip  manusia yang hanya sebagai benda. Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Yaitu cara manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Filsafat eksistensialisme menutamakan   individu sebagai faktor dalam menentukan apa yang baik dan dan benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan ditentukan masing-masing secara bebas.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagimana konsep filsafat pendidikan eksistensialisme?
2.      Siapa saja tokoh-tokoh filsafat pendidikan eksistensialisme?
3.      Bagaimana implikasi aliran filsafat pendidikan eksistensialisme terhadap pesrta didik dalam pendidikan?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Konsep Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist itu sendiri adalah bahasa latin yang artinya, ex: keluar dan sistare: berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
Filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Tokoh- tokoh yang dapat digolongkan ke dalam filsafat eksistensi telah banyak terdapat sebelum lahirnya filsafat eksistensialisme. Adapun yang dimaksud dengan filsafat eksistensialisme, rumusannya lebih sulit dari eksistensi. Sejak muncul filsafat eksistensi,  cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral pembahasan filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi  yang secara begitu radikal menghadapkan manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme.[1]
Dalam pandangan materialisme, baik yang kuno maupun modern, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti kayu dan batu, tetapi materialism mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instatnsinya yang terakhir, manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu, pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi, batu, pohon. Dilihat dari segi keberadaanya juga sama.
Ekstensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi, dan pohon juga, akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia: mengalami beradanya di dunia. Manusia menghadapi dunia, dengan mengerti yang dihadapinya. Manusia mengerti guna pohon, batu, dan salah satu diaantaranya adalah manusia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya adalah bahwa manusia adalah subjek, subjek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya adalah objek.

B.  Tokoh-Tokoh Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Ada beberapa tokoh eksistensialisme, diantaranya yaitu:
1.    Martin Heidegger
Menurut Martin  Heidegger keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui jalan ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metodologi fenomenologis. Jadi, yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu.
Keberadaan manusia (desein) juga mitsein (berada bersama-sama). Manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar pada tiga hal asasi yaitu:
·      Befindichkeit (kepekaan), diungkapkan dalam bentuk perasaan; senang, kecewa atau takut
·      Verstehen (memahami), bahwa manusia yang dengan kesadaran akan beradanya diantara keberadaan lain-lainnya harus berbuat sesuatu untuk menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya untuk member arti dan manfaat pada dunia dalam kemungkinan-kemungkinannya.
·      Rede (kata-kata, bicara), asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi bagi manusia.
Menurut Martin  Heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya, tetapi manusia dilemparkan ke dalam keberadaan. Manusia harus tetap bertanggung jawab atas keberadaannya itu.[2]

2.    J.P. Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 dan meninggal pada tahun 1980. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928. Pada tahun 1929, ia mengajarkan filsafat di beberapa Lycees, baik di Paris maupun di tempat lain. Dari tahun 1933- 1935, ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francais di Berlin dan Universitas Freiburg. Tahun 1938, terbit novelnya yang berjudul La Nausee, dan La Mur, sejak itulah karya-karyanya yang lain di bidang filsafat.
 Menurut Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda dari tumbuhan, hewan, bebatuan, yang esensinya mendahului eksistensi, seandainya mereka mempunyai eksistensi. Di dalam filsafat idealism, wujud nyata (existence)  dianggap mengikuti hakikat (essence). Jadi hakikat manusia mempunyai cirri khas tertentu, dan cirri itu menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lainnya. Dan hal ini merupakan prinsip utama dan pertama di dalam filsafat eksistensialisme.[3]

3.    Kiekegaard
Menurut Kiekegaard Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan irasioanl. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidun yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah  yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak dan spekulatif. Atas pandangan sikap di kalangan kaum eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom do adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap perbuatannya.[4]



4.    Gabriel Marcel
Dalam filsafatnya, ia menyatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Manusia memiliki kebebasan yang bersifat otonom. Dalam hal itu, manusia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh kejasmaniannya. Dari luar, manusia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam, manusia dikuasai oleh jasmaninya.
Manusia bukanlah mkhluk yang statis, sebab manusia senantiasa menjadi (berproses) atau being and becoming.  Manusia selalumenghadapi objek yang harus diusahakan, seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain.[5]


C.      Implikasi Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Terhadap Peserta Didik Dalam Pendidikan
Aliran eksistensialisme memandang siswa sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya dan siswa dipandang sebagai makhluk yang utuh yaitu akal pikiran, rohani, dan jasmani yang semua itu merupakan keutuhan dan semua itu perlu dikembangkan melalui pendidikan. Dengan melaksanakan kebebasan pribadi, para siswa akan belajar dasar-dasar tanggung jawab pribadi dan sosial.



BAB III
KESIMPULAN
1.    Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist itu sendiri adalah bahasa latin yang artinya, ex: keluar dan sistare: berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
2.    Tokoh aliran eksistensialisme :
Ø  Martin Heidegger
Ø  Jean Paul Sartre
Ø  Kiekegaard
Ø  Gabriel Marcel
3.    Implikasi Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Terhadap Peserta Didik Dalam Pendidikan : Aliran eksistensialisme memandang siswa sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya dan siswa dipandang sebagai makhluk yang utuh yaitu akal pikiran, rohani, dan jasmani yang semua itu merupakan keutuhan dan semua itu perlu dikembangkan melalui pendidikan.










DAFTAR PUSTAKA

Syadali, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad, Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi, Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.




[1] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 127
[2] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),334-335
[3] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, …130-131
[4] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hal.30- 31
[5] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi,.. 337

Tidak ada komentar:

Posting Komentar