ETIKA TERHADAP TAMU
A.
Hadits
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ
عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْكَعْبِيِّ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ
أَيَّامٍ فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ
عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ مِثْلَهُ وَزَادَ
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ
لِيَصْمُتْ[1]
Artinya:
Dari
Sa’id bin Abi Sa’id Al Maqburi, dari Abu Syuraih Al Ka’bi, sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa beriman kepada
Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya, (memberikan) hadiahnya satu
hari satu malam. Melayani tamu itu selama tiga hari, dan sesudah itu adalah
sedekah. Tidak halal baginya untuk tinggal lama hingga memberatkannya.”
(HR. Bukhari).[2]
D.
Kandungan
Hadits
Hadits Abu Syuraih, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
akhir hendaklah memuliakan tamunya.” Adapun pada jalur kedua disebutkan,
“Ismail menceritakan kepada kami, Malik memberitakan kepada kami, sama
sepertinya”, yakni melalui sanad yang sama.
أَوْ لِيَصْمُتْ (atau diam). Imam An-Nawawi melafalkannya dengan
tanda dhammah pada huruf mim. Ath-Thufi berkata, “Kami
mendengarkannya dengan tanda kasrah pada huruf mim dan ia sesuai
qiyas seperti kata dharaba-yadhribu. Terjadi kemusykilan sehubungan
pilihan pada kalimat, “Hendaklah mengatakan yang baik atau diam”, karena
perkara mubah bila pada salah satu dari dua bagian itu, maka konsekunsinya
diperintahkan sehingga menjadi wajib, atau dilarang sehingga menjadi haram.”
Namun, hal ini dijawab bahwa kata perintah pada kalimat ‘hendaklah mengatakan
dan hendaklah diam’ adalah pemberian izin secara mutlak, mencakup yang mubah
dan lainnya. Namun, benar bahwa konsekuensinya perkara mubah adalah bagus
karena masuk dalam ‘kebaikan’. Makna hadits tersebut adalah jika seseorang akan
berbicara hendaklah memikirkan terlebih dahulu. Jika dia mengetahui bahwa
pembicaraanya tidak mengandung kerusakan dan tidak tidak menyebabkan hal-hal
yang haram maupun makruh, maka dia boleh berbicara. Apabila pembicaraannya
mengandung hal-hal yang mubah, maka sebaiknya diam agar tidak menyeret kepada
hal-hal yang haram atau makruh.
Hadits Uqbah bin Amir, “Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh
engkau mengutus kami dan kami singgah di suatu kaum yang tidak menjamu kami.”
Penjelasannya sudah dipaparkan pada pembahasan tentang perbuatan aniaya.
جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ (Hadiahnya
satu hari satu malam). As-Suhaili berkata, “Kata جَائِزَتُه diriwayatkan dengan tanda dhammah pada huruf ta’
sebagai subjek kalimat. Tetapi diriwayatkannya dengan pula dengan tanda fathah
sebagai badal (kalimat pengganti), maksudnya “Memuliakan hadiahnya satu hari
satu malam.”
صَدَقَةٌ (menjamu tamu adalah tiga hari, maka sesudahnya itu
adalah sedekah). Ibnu Baththal berkata: di memuliakannya dan melayaninya
satu hari satu malam, dan tiga hari adalah menjamu tamu.” Saya (Ibnu Hajar)
katakan, terjadi perbedaan apakah tiga hari itu tidak masuk hari pertama atau
termasuk? Abu Ubaid berkata, “Hendaklah seseorang menanggung hari pertama bagi
tamu dengan jamuan yang terbaik. Sedangkan menanggung hari pertama bagi tamu
dengan jamuan yang terbaik. Sedangkan pada hari kedua dan ketiga dihidangkan
kepada tamu makanan yang ada dan tidak dilebihkan dari kebiasaan tuan rumah.
Kemudian tuan rumah memberikan kepada tamu bekal yang bisa digunakan seorang
musafir selama satu hari satu malam. Pemberian inilah yang disebut ‘al-jiizah’.
Ia adalah sekedar yang bisa dimanfaatkan seorang musafir dari satu persinggahan
kepada persinggahan berikutnya.
Al Kaththabi berkata, “Maknanya, apabila ada tamu yang singgah,
hendakllah tuan rumah melayaninya dan memberikan pelayanan lebih dari yang
biasanya selama satu thari satu malam, dan pada dua hari berikutnya dihidangkan
apa yang ada sesuai kebiasaan sehari-harinya. Apabila barlalu tiga hari, maka
tuan rumah telah menuanaikan hak tamunya dan apa yang diberikan kepada tamunya
adalah sedekah.
Dalam riwayat Abdul Hamid bin Ja’far, dari Sa’id Al-Maqburi, dari
Abu Syuraih, yang dikutip Imam Ahmad dan Muslim disebutkan (Menjamu tamu
adalah tiga hari dan hadiahnya satu hari satu malam). Hal ini menunjukkan
adanya perbedaan dan di dukung pernyataan Abu Ubaid. Ath-Thaibi menjawab bahwa
ia adalah kalimat baru untuk menjelaskan kalimat yang pertama. Seakan-akan
disebutkan, “Bagaimana memuliakannya?” Beliau menjawab, “Hadiahnya...” bahwa
dalam kalimat ini ada kata yang tidak disebutkan secara redaksional, yaitu masa
hadiahnya. Maksudnya, berbuat baik dan menjamunya adalah satu hari satu malam.
Oleh karena itu, riwayat ini dipahami untuk hari terakhir sekedar bekal musafir
untuk menempuh perjalanan satu hari satu malam. Hal itu untuk mengamalkan kedua
riwayat tersebut.
وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ
أَيَّامٍ فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ (menjamu tamu adalah tiga hari, maka
sesudahnya itu adalah sedekah). Ibnu
Baththal berkata: di memuliakannya dan melayaninya satu hari satu malam, dan
tiga hari adalah menjamu tamu.” Saya (Ibnu Hajar) katakan, terjadi perbedaan
apakah tiga hari itu tidak masuk hari pertama atau termasuk? Abu Ubaid berkata,
“Hendaklah seseorang menanggung hari pertama bagi tamu dengan jamuan yang
terbaik. Sedangkan menanggung hari pertama bagi tamu dengan jamuan yang
terbaik. Sedangkan pada hari kedua dan ketiga dihidangkan kepada tamu makanan
yang ada dan tidak dilebihkan dari kebiasaan tuan rumah. Kemudian tuan rumah
memberikan kepada tamu bekal yang bisa digunakan seorang musafir selama satu
hari satu malam. Pemberian inilah yang disebut ‘al-jiizah’. Ia adalah
sekedar yang bisa dimanfaatkan seorang musafir dari satu persinggahan kepada
persinggahan berikutnya.
Al Kaththabi berkata, “Maknanya, apabila ada tamu yang
singgah, hendakllah tuan rumah melayaninya dan memberikan pelayanan lebih dari
yang biasanya selama satu thari satu malam, dan pada dua hari berikutnya
dihidangkan apa yang ada sesuai kebiasaan sehari-harinya. Apabila barlalu tiga
hari, maka tuan rumah telah menuanaikan hak tamunya dan apa yang diberikan
kepada tamunya adalah sedekah.
Dalam riwayat Abdul Hamid bin Ja’far, dari Sa’id
Al-Maqburi, dari Abu Syuraih, yang dikutip Imam Ahmad dan Muslim disebutkan (Menjamu
tamu adalah tiga hari dan hadiahnya satu hari satu malam). Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan dan di dukung pernyataan Abu Ubaid. Ath-Thaibi
menjawab bahwa ia adalah kalimat baru untuk menjelaskan kalimat yang pertama.
Seakan-akan disebutkan, “Bagaimana memuliakannya?” Beliau menjawab,
“Hadiahnya...” bahwa dalam kalimat ini ada kata yang tidak disebutkan secara
redaksional, yaitu masa hadiahnya. Maksudnya, berbuat baik dan menjamunya
adalah satu hari satu malam. Oleh karena itu, riwayat ini dipahami untuk hari
terakhir sekedar bekal musafir untuk menempuh perjalanan satu hari satu malam.
Hal itu untuk mengamalkan kedua riwayat tersebut.
Mungkin juga maksud kata hadiahnya untuk
menjelaskan keadaan yang lain, yaitu bahwa seorang musafir terkadang tinggal di
tempat yang disinggahinya. Keadaan seperti ini tidak dilebihkan dari tiga hari.
Terkadang pula dia tidak tinggak, maka disiapkan bekal yang cukup untuk satu
hari satu malam. Barangkali ini merupakan pemahaman yang paling netral.
Penetapan setelah tiga hari dianggap sedekah dijadikan
dalil bahwa yang sebelumnya hukumnya wajib, karena maksud menyebutkan sebagai
sedekah adalah untuk membuat jiwa meninggalkannya, sebab banyak diantara
manusia khususnya orang kaya merasa enggan makan sedekah. Adapun alasan mereka
yang tidak mewajibkan menjamu tamu sudah dipaparkan ketika membahas hadits
Uqbah. Ibnu Baththal berhujjah untuk menguatkan pandangan yang tidak mewajibkan
dengan kata “hadiahnya.” Dia berkata, “Hadiah adalah kemurahan dan kebaikan
yang tidak wajib.” Namun hal ini dianggap bahwa makna ‘hadiah’ pada hadits Abu
Syuraih tidak seperti pengertian yang biasa dikenal, yaitu apa yang diberikan
kepada seorang penyair dan utusan. Dalam kitab Al Awa’il disebutkan
bahwa orang pertama yang menamai hal itu sebagai ‘hadiah’ adalah salah satu
pemimpin dari kalangan tabi’in. Maksud ‘hadiah’ dalam hadits adalah memberikan
kepada seseorang apa yang mencukupinya sehingga tidak butuh yang lain.[3]
Ayat yang mendukung Etika Terhadap Tamu yaitu QS. Dzariyat:
24-28 dan QS. Hud: 78.
هَلْ اَتاَ ك حَدِيْثُ ضَيْفَ اِبْرَهِيْمَ اْلُمُكْرَمِيْن(24)
اِذَدَخَلُوْا عَلَيْهِ فَقَلُوْا سَلَامًا قَاَلَ سَلَامٌ قَوْمٌ
مُنْكَرُوْنَ(25) فَرَا غَ اِلَى اَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمينٍ(26)فَقَرَبَّهُ
اِلَيْهِمْ قَالَ اَلَا َتَاءْ كُلُوْ نَ (27) فَاَوْجَسَ مِنْهم خيفة قلوا لاتخف
وبشروه بغلام عليم(28)
Artinya: “Apakah telah sampai kepadamu
kisah tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ketika mereka masuk kepadanya lalu
mereka mengucapkan “Salam(an)”. Dia menjawab: “Salam(un)”. (Mereka) adalah kaum
yang tidak dikenal. Maka dia pergi diam-diam kepada keluarganya lalu dia datang
membawa daging anak sapi yang gemuk lalu didekatkannya kepada mereka. Dia
berkata: “Tidakkah kamu akan makan?” Maka dia menyembunyikan rasa takut
terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah takut”, dan mereka menyampaikan
kabar gembira kepadanya dengan seorang anak yang alim.” (QS. Adz-Dzariyat:
24-28).
Kandungan ayat diatas menjelaskan perlakuan
Allah kepada salah seorang tokoh Al-Muhsinin yaitu Nabi Ibrahim as dan betapa
beliau memperoleh anugerah-Nya dengan cara yang sungguh berbeda dengan
kebiasaan selama ini dikenal oleh manusia. Kisah Nabi Ibrahim as itu
disampaikan dengan gaya bertanya yang bertujuan menarik perhatian mitra bicara
untuk menyadari betapa hebat peristiwa yang akan diuraikan. Kisah tamu
terhormat Nabi Ibrahim yang merupakan malaikat-malaikat yang dimuliakan Allah
swt. Para malaikat itu masuk ke rumah Nabi Ibrahim lalu mereka mengucapkan: “Salam(an)”.
Nabi Ibrahim berkata dalam hatinya ketika melihat keadaan para tetamu itu
tidak sebagaimana biasanya para tamu:
mereka adalah kaum yakni orang-orang yang tidak dikenal.[4]
Tampaklah dengan jelas kemurahan Ibrahim, kedermawanannya dan kerelaannya pada
kekayaan. Begitu tamunya masuk mengucapakan salam, lalu ia menjawab salam
mereka sedang ia merasa ganjal tidak mengetahui mereka. Begitu ia menerima
salam dan menjawabnya, Ibrahim langsung menemui istrinya agar menyiapkan
makanan untuk mereka. Kemudian ia datang dengan membawa makanan yang banyak
hingga cukupnuntuk sepuluh orang.
Artinya: “Dan
datanglah kaum Nabi Luth dengan tergesa-gesa, sedang mereka sejak dahulu memang
ahli maksiat. Luth berkata: “Hai kaumku, itulah anak-anak perempuanku. Mereka
itu lebih suci bagi kalian. Maka takutlah kepada Allah dan kalian jangan
menyusahkan aku tamu-tamuku. Tidaklah ada diantara kalian seseorang yang sehat
akalnya”. (QS. Hud: 78)
Kandungan dari ayat Al-Qur’an yang mendukung tersebut
diantaranya tanda bersemayannya keimanan yang sempurna di dada seseorang ialah
dimilikinya akhlak karimah dalam perbuatan maupun ucapan seperti menghormati
tamu, silaturahim dan berkata yang baik.[5]
DAFTAR
PUSTAKA
A. Madjid
Hasyim, Husain, Syarah Riyadhush Shalihin 3, (Surabaya: Bina Ilmu,
2006).
Al-Asqalani,
Ibnu hajar, Fathul Bari, Terj. Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008).
Bukhari,
Muhammad bin Ismail, Shahih bukhari, (Beirut: Dar al-Fikri, 1995
M/ 1415 H).
Shihab, Muhammad Quraish, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (
[1]
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Adab, Bab Ikromi
adh-dhifi wakhidmatihi iyyahu binafsihi waqoulihi (Beirut: Dar al-Fikri, 1995
M/ 1415 H),hal. 82.
[2] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), jld. 29, hal. 437.
[3] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), jld. 29, hal. 439-444.
[5] Husaini A.
Madjid Hasyim, Syarah Riyadhush Shalihin 3 (Surabaya: Bina Ilmu, 2006), hal.
63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar