Minggu, 29 November 2015

Etika Terhadap Tamu

ETIKA TERHADAP TAMU
A.    Hadits
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْكَعْبِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ مِثْلَهُ وَزَادَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ[1]
Artinya:
Dari Sa’id bin Abi Sa’id Al Maqburi, dari Abu Syuraih Al Ka’bi, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya, (memberikan) hadiahnya satu hari satu malam. Melayani tamu itu selama tiga hari, dan sesudah itu adalah sedekah. Tidak halal baginya untuk tinggal lama hingga memberatkannya.” (HR. Bukhari).[2]

D.    Kandungan Hadits
Hadits Abu Syuraih, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya.” Adapun pada jalur kedua disebutkan, “Ismail menceritakan kepada kami, Malik memberitakan kepada kami, sama sepertinya”, yakni melalui sanad yang sama.
أَوْ لِيَصْمُتْ (atau diam). Imam An-Nawawi melafalkannya dengan tanda dhammah pada huruf mim. Ath-Thufi berkata, “Kami mendengarkannya dengan tanda kasrah pada huruf mim dan ia sesuai qiyas seperti kata dharaba-yadhribu. Terjadi kemusykilan sehubungan pilihan pada kalimat, “Hendaklah mengatakan yang baik atau diam”, karena perkara mubah bila pada salah satu dari dua bagian itu, maka konsekunsinya diperintahkan sehingga menjadi wajib, atau dilarang sehingga menjadi haram.” Namun, hal ini dijawab bahwa kata perintah pada kalimat ‘hendaklah mengatakan dan hendaklah diam’ adalah pemberian izin secara mutlak, mencakup yang mubah dan lainnya. Namun, benar bahwa konsekuensinya perkara mubah adalah bagus karena masuk dalam ‘kebaikan’. Makna hadits tersebut adalah jika seseorang akan berbicara hendaklah memikirkan terlebih dahulu. Jika dia mengetahui bahwa pembicaraanya tidak mengandung kerusakan dan tidak tidak menyebabkan hal-hal yang haram maupun makruh, maka dia boleh berbicara. Apabila pembicaraannya mengandung hal-hal yang mubah, maka sebaiknya diam agar tidak menyeret kepada hal-hal yang haram atau makruh.
Hadits Uqbah bin Amir, “Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau mengutus kami dan kami singgah di suatu kaum yang tidak menjamu kami.” Penjelasannya sudah dipaparkan pada pembahasan tentang perbuatan aniaya.
جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ (Hadiahnya satu hari satu malam). As-Suhaili berkata, “Kata جَائِزَتُه diriwayatkan dengan tanda dhammah pada huruf ta’ sebagai subjek kalimat. Tetapi diriwayatkannya dengan pula dengan tanda fathah sebagai badal (kalimat pengganti), maksudnya “Memuliakan hadiahnya satu hari satu malam.”
صَدَقَةٌ (menjamu tamu adalah tiga hari, maka sesudahnya itu adalah sedekah). Ibnu Baththal berkata: di memuliakannya dan melayaninya satu hari satu malam, dan tiga hari adalah menjamu tamu.” Saya (Ibnu Hajar) katakan, terjadi perbedaan apakah tiga hari itu tidak masuk hari pertama atau termasuk? Abu Ubaid berkata, “Hendaklah seseorang menanggung hari pertama bagi tamu dengan jamuan yang terbaik. Sedangkan menanggung hari pertama bagi tamu dengan jamuan yang terbaik. Sedangkan pada hari kedua dan ketiga dihidangkan kepada tamu makanan yang ada dan tidak dilebihkan dari kebiasaan tuan rumah. Kemudian tuan rumah memberikan kepada tamu bekal yang bisa digunakan seorang musafir selama satu hari satu malam. Pemberian inilah yang disebut ‘al-jiizah’. Ia adalah sekedar yang bisa dimanfaatkan seorang musafir dari satu persinggahan kepada persinggahan berikutnya.
Al Kaththabi berkata, “Maknanya, apabila ada tamu yang singgah, hendakllah tuan rumah melayaninya dan memberikan pelayanan lebih dari yang biasanya selama satu thari satu malam, dan pada dua hari berikutnya dihidangkan apa yang ada sesuai kebiasaan sehari-harinya. Apabila barlalu tiga hari, maka tuan rumah telah menuanaikan hak tamunya dan apa yang diberikan kepada tamunya adalah sedekah.
Dalam riwayat Abdul Hamid bin Ja’far, dari Sa’id Al-Maqburi, dari Abu Syuraih, yang dikutip Imam Ahmad dan Muslim disebutkan (Menjamu tamu adalah tiga hari dan hadiahnya satu hari satu malam). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dan di dukung pernyataan Abu Ubaid. Ath-Thaibi menjawab bahwa ia adalah kalimat baru untuk menjelaskan kalimat yang pertama. Seakan-akan disebutkan, “Bagaimana memuliakannya?” Beliau menjawab, “Hadiahnya...” bahwa dalam kalimat ini ada kata yang tidak disebutkan secara redaksional, yaitu masa hadiahnya. Maksudnya, berbuat baik dan menjamunya adalah satu hari satu malam. Oleh karena itu, riwayat ini dipahami untuk hari terakhir sekedar bekal musafir untuk menempuh perjalanan satu hari satu malam. Hal itu untuk mengamalkan kedua riwayat tersebut.
وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ (menjamu tamu adalah tiga hari, maka sesudahnya itu adalah sedekah). Ibnu Baththal berkata: di memuliakannya dan melayaninya satu hari satu malam, dan tiga hari adalah menjamu tamu.” Saya (Ibnu Hajar) katakan, terjadi perbedaan apakah tiga hari itu tidak masuk hari pertama atau termasuk? Abu Ubaid berkata, “Hendaklah seseorang menanggung hari pertama bagi tamu dengan jamuan yang terbaik. Sedangkan menanggung hari pertama bagi tamu dengan jamuan yang terbaik. Sedangkan pada hari kedua dan ketiga dihidangkan kepada tamu makanan yang ada dan tidak dilebihkan dari kebiasaan tuan rumah. Kemudian tuan rumah memberikan kepada tamu bekal yang bisa digunakan seorang musafir selama satu hari satu malam. Pemberian inilah yang disebut ‘al-jiizah’. Ia adalah sekedar yang bisa dimanfaatkan seorang musafir dari satu persinggahan kepada persinggahan berikutnya.
Al Kaththabi berkata, “Maknanya, apabila ada tamu yang singgah, hendakllah tuan rumah melayaninya dan memberikan pelayanan lebih dari yang biasanya selama satu thari satu malam, dan pada dua hari berikutnya dihidangkan apa yang ada sesuai kebiasaan sehari-harinya. Apabila barlalu tiga hari, maka tuan rumah telah menuanaikan hak tamunya dan apa yang diberikan kepada tamunya adalah sedekah.
Dalam riwayat Abdul Hamid bin Ja’far, dari Sa’id Al-Maqburi, dari Abu Syuraih, yang dikutip Imam Ahmad dan Muslim disebutkan (Menjamu tamu adalah tiga hari dan hadiahnya satu hari satu malam). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dan di dukung pernyataan Abu Ubaid. Ath-Thaibi menjawab bahwa ia adalah kalimat baru untuk menjelaskan kalimat yang pertama. Seakan-akan disebutkan, “Bagaimana memuliakannya?” Beliau menjawab, “Hadiahnya...” bahwa dalam kalimat ini ada kata yang tidak disebutkan secara redaksional, yaitu masa hadiahnya. Maksudnya, berbuat baik dan menjamunya adalah satu hari satu malam. Oleh karena itu, riwayat ini dipahami untuk hari terakhir sekedar bekal musafir untuk menempuh perjalanan satu hari satu malam. Hal itu untuk mengamalkan kedua riwayat tersebut.
Mungkin juga maksud kata hadiahnya untuk menjelaskan keadaan yang lain, yaitu bahwa seorang musafir terkadang tinggal di tempat yang disinggahinya. Keadaan seperti ini tidak dilebihkan dari tiga hari. Terkadang pula dia tidak tinggak, maka disiapkan bekal yang cukup untuk satu hari satu malam. Barangkali ini merupakan pemahaman yang paling netral.
Penetapan setelah tiga hari dianggap sedekah dijadikan dalil bahwa yang sebelumnya hukumnya wajib, karena maksud menyebutkan sebagai sedekah adalah untuk membuat jiwa meninggalkannya, sebab banyak diantara manusia khususnya orang kaya merasa enggan makan sedekah. Adapun alasan mereka yang tidak mewajibkan menjamu tamu sudah dipaparkan ketika membahas hadits Uqbah. Ibnu Baththal berhujjah untuk menguatkan pandangan yang tidak mewajibkan dengan kata “hadiahnya.” Dia berkata, “Hadiah adalah kemurahan dan kebaikan yang tidak wajib.” Namun hal ini dianggap bahwa makna ‘hadiah’ pada hadits Abu Syuraih tidak seperti pengertian yang biasa dikenal, yaitu apa yang diberikan kepada seorang penyair dan utusan. Dalam kitab Al Awa’il disebutkan bahwa orang pertama yang menamai hal itu sebagai ‘hadiah’ adalah salah satu pemimpin dari kalangan tabi’in. Maksud ‘hadiah’ dalam hadits adalah memberikan kepada seseorang apa yang mencukupinya sehingga tidak butuh yang lain.[3]
Ayat yang mendukung Etika Terhadap Tamu yaitu QS. Dzariyat: 24-28 dan QS. Hud: 78.
هَلْ اَتاَ ك حَدِيْثُ ضَيْفَ اِبْرَهِيْمَ اْلُمُكْرَمِيْن(24) اِذَدَخَلُوْا عَلَيْهِ فَقَلُوْا سَلَامًا قَاَلَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُوْنَ(25) فَرَا غَ اِلَى اَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمينٍ(26)فَقَرَبَّهُ اِلَيْهِمْ قَالَ اَلَا َتَاءْ كُلُوْ نَ (27) فَاَوْجَسَ مِنْهم خيفة قلوا لاتخف وبشروه بغلام عليم(28)
Artinya: “Apakah telah sampai kepadamu  kisah tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ketika mereka masuk kepadanya lalu mereka mengucapkan “Salam(an)”. Dia menjawab: “Salam(un)”. (Mereka) adalah kaum yang tidak dikenal. Maka dia pergi diam-diam kepada keluarganya lalu dia datang membawa daging anak sapi yang gemuk lalu didekatkannya kepada mereka. Dia berkata: “Tidakkah kamu akan makan?” Maka dia menyembunyikan rasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah takut”, dan mereka menyampaikan kabar gembira kepadanya dengan seorang anak yang alim.” (QS. Adz-Dzariyat: 24-28).
Kandungan ayat diatas menjelaskan perlakuan Allah kepada salah seorang tokoh Al-Muhsinin yaitu Nabi Ibrahim as dan betapa beliau memperoleh anugerah-Nya dengan cara yang sungguh berbeda dengan kebiasaan selama ini dikenal oleh manusia. Kisah Nabi Ibrahim as itu disampaikan dengan gaya bertanya yang bertujuan menarik perhatian mitra bicara untuk menyadari betapa hebat peristiwa yang akan diuraikan. Kisah tamu terhormat Nabi Ibrahim yang merupakan malaikat-malaikat yang dimuliakan Allah swt. Para malaikat itu masuk ke rumah Nabi Ibrahim lalu mereka mengucapkan: “Salam(an)”. Nabi Ibrahim berkata dalam hatinya ketika melihat keadaan para tetamu itu tidak  sebagaimana biasanya para tamu: mereka adalah kaum yakni orang-orang yang tidak dikenal.[4] Tampaklah dengan jelas kemurahan Ibrahim, kedermawanannya dan kerelaannya pada kekayaan. Begitu tamunya masuk mengucapakan salam, lalu ia menjawab salam mereka sedang ia merasa ganjal tidak mengetahui mereka. Begitu ia menerima salam dan menjawabnya, Ibrahim langsung menemui istrinya agar menyiapkan makanan untuk mereka. Kemudian ia datang dengan membawa makanan yang banyak hingga cukupnuntuk sepuluh orang.
Artinya: “Dan datanglah kaum Nabi Luth dengan tergesa-gesa, sedang mereka sejak dahulu memang ahli maksiat. Luth berkata: “Hai kaumku, itulah anak-anak perempuanku. Mereka itu lebih suci bagi kalian. Maka takutlah kepada Allah dan kalian jangan menyusahkan aku tamu-tamuku. Tidaklah ada diantara kalian seseorang yang sehat akalnya”. (QS. Hud: 78)
Kandungan dari ayat Al-Qur’an yang mendukung tersebut diantaranya tanda bersemayannya keimanan yang sempurna di dada seseorang ialah dimilikinya akhlak karimah dalam perbuatan maupun ucapan seperti menghormati tamu, silaturahim dan berkata yang baik.[5]






DAFTAR PUSTAKA
A. Madjid Hasyim, Husain, Syarah Riyadhush Shalihin 3, (Surabaya: Bina Ilmu, 2006).
Al-Asqalani, Ibnu hajar, Fathul Bari, Terj. Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008).
Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih bukhari, (Beirut: Dar al-Fikri, 1995 M/ 1415 H).
Shihab, Muhammad Quraish, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (





[1] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Adab, Bab Ikromi adh-dhifi wakhidmatihi iyyahu binafsihi waqoulihi (Beirut: Dar al-Fikri, 1995 M/ 1415 H),hal. 82.
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jld. 29, hal. 437.
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jld. 29, hal. 439-444.
[4] Muhammad Quraish Shihab, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Bandung: Lentera Hati), hal. 38
[5] Husaini A. Madjid Hasyim, Syarah Riyadhush Shalihin 3 (Surabaya: Bina Ilmu, 2006), hal. 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar