Minggu, 06 Desember 2015

Hukum Ta'lifi dan Wadh'i

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
     Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain, yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hukum Syara’?
2.      Apa yang dimaksud dengan hukum taklifi?
3.       Apa yang dimaksud dengan hukum wadh’i?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Syara’
Secara etimologis, hukum berarti mencegah, putusan. Adapun secara terminologis, adalah tuntutan Allah Swt yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah atau azimah. [1]

B.     Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan perintah, larangan, dan takhyir (pilihan) untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Contoh hukum yang menunjukkan perintah adalah mendirikan shalat, membayar zakat dan menunaikan haji ke Baitullah. Sedang hukum yang menunjukkan larangan, seperti larangan memakan harta benda anak yatim sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 152:
Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr&
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat” (QS. Al-An’am: 152)
 Adapun contoh hukum takhyir (pilihan) seperti, makan, minum, tidur, bepergian.[2]
Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian yaitu sebagai berikut:
a.    Ijab, adalah tuntutan yang harus dikerjakan atau dilakukan. Hasil dari ijab dinamakan wujub dan pekerjaan yang dikenai hukum wujub disebut wajib. Para ahli ushul fiqh memberikan definisi wajib sebagai berikut:
اَلْوَجِبُ شَرْعًا هُوَ مَا طَلَبَ الشَّارِعَ  فِعْلَهُ مِنَ الْمُكَلَّفِ طَلَبًا حَتْمًا
Artinya: “ Wajib menurut syara’ ialah apa yang dituntut oleh syara’ kepada mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras.”
Pembagian wajib
Bila dilihat dari sisi orang yang di bebani kewajiban,  hukum wajib di bagi menjadi dua
·  Wajib ‘aini yaitu kewaiban yang di bebenkan kepada setiap orang yang sudah berakal (mukallaf) tanpa kecuali. Kewajiban ini tidak bisa gugur kecuali di lakukan sendiri, misalnya melakukan solat lima waktu.
·  Wajib kifayah yaitu kewajiban yang di berikan kepada seluruh mukallaf , namun bilamana telah dilakukan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah di anggap terpenuhi. Wajib kifayah terkadang berubah menjadi wajib ‘aini , bilamana di suatu negara tidak ada lagi orang yang mwmpu melaksanaakannya selain dirinya, contoh sholat jenazah.
b.   Tahrim, adalah larangan dan harus ditinggalkan. Hasil dari tahrim disebut hurmah dan pekerjaan yang dikenai hukum hurmah itu dinamakan muharramun atau haram. Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melalui lafal nash seperti dalam firman Allah SWT:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$#
Artinya: “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah.” (Q.S Al-Maidah: 3)
c.    Nadab, adalah tuntutan yang tidak mesti dituruti. Bekas nadab disebut juga dengan nadab, sedangkan pekerjaan yang dikenai hukum nadab disebut mandub. Atau dengan kata lain diberi pahala bagi yang mengerjakan dan tidak disiksa bagi yang meninggalkan.[3]

d.   Karahah, adalah larangan yang tidak mesti dijauhi. Bekas karahah disebut juda karahah, sedangkan pekerjaan yang dikenainya dinamakan makruh.
e.    Ibahah, yaitu kebolehan memilih antara berbuat atau tidak berbuat. Hasil ibahah dinamakan ibahah, dan pekerjaan yang dikenai ibahah disebut mubah.[4]

C.    HUKUM WADH’I
Hukum wadh’i adalah  hubungan dijadikan Allah antara dua hal, dimana yang satu merupakan sebab, syarat dan mani’ bagi yang lain.
Adanya sebab, syarat, dan mani’ itu menimbulkan keabsahan hukum yang berarti positif, atau tidak sah yang berarti negatif.[5]
Hukum wadh’i terbagi menjadi lima bagian yaitu sebagai berikut:
a.    Sebab, yaitu apa yang dijadikan alamat oleh syar’i terhadap musababnya, dan mengikat adanya musabab itu dengan wujudnya a’dam (tidak adanya) dengan a’damnya. Maka tetap dari adanya sebab maka adanya musabab. Contoh sebab adalah, menyaksikan bulan (tanggal 1 Ramadhan) menjadi sebab atas wajibnya menjalankan puasa. Sebagaimana firman Allah di dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:
ã`yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù (
“Karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah: 185)
b.   Syarat, yaitu apa yang terhenti wujud hukum itu atas wujudnya, dan tidak bercerai dari a’damnya itu a’dam hukum. Adapun contoh syarat adalah mengambil air wudhu menjadi syarat bagi sahnya shalat, adanya ahli waris yang hidup setelah matinya orang yang diwaris harta bendanya, menjadi syarat bagi sahnya pembagian harta pusaka.[6]
c.    Mani’ (penghalang), adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum. Mani’ terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Mani’ terhadap hukum. Misalnya, najis yang terdapat pada tubuh atau pakaian orang yang sedang shalat. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya shalat. Hal ini disebut mani’ hukum.
2.      Mani’  terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakat. Namun, karena seseorang itu mempunyai hutang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat ia tidak wajib membayar zakat. Hal ini disebut mani’ sebab.[7]
d.   Azimah & Rukhshah, azimah ialah hukum yang ditetapkan semenjak semula tidak berlaku hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan bukan pula untuk waktu dan tempat tertentu.
 Rukhsah ialah hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan.  Macam- macam rukhsah ada empat yaitu:
1.      Rukhsah yang menjadi pengecualian hukum umum dikarenakan terdapat kesulitan dalam melaksanakan ketentuan hukum umum. Bentuk rukhsah yang seperti ini misalnya kebolehan hutang piutang perjanjian silm, diat yang dibebankan kepada seluruh anggota keluarga yang membunuh.
2.      Rukhsah karena adanya taklif yang berat kepada umat yang diisyaratkan Allah dalam firmannya:
$oY­/u Ÿwur ö@ÏJóss? !$uZøŠn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s%
Artinya: ...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang yang sebelum kami.(Q.S Al-Baqarah: 286)
3.      Rukhsah yang ditetapkan untuk memberikan keluasan dalam ibadah sehingga terdapat kemudahan dan orang yang dapat melaksanakan ibadah yang lebih banyak.
4.      Rukhsah menurut pengertian yang diberikan pada ushul karena adanya unsur yang dapat dijadikan alasan pngecualian dari hukum namun ketentuannya hanya berlaku menurut keperluan. Dan jika tidak ada yang udzur namun adanya hajat dalam kehidupan ini untuk mencapai yang lebih mudah tidaklah termasuk rukhsah seperti kebolehan perjanjian jual beli tempah (silm) tetapi yang seperti ini merupakan pengecualian dari ketentuan umum.[8]             
e.    Sah Dan Batal
 Lafal “sah” dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Sembahyang dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan perbuatan itu akan mendatangkan pahala di akhirat. Sebaliknya lafal “batal” yang dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia dan akhirat tidak memperoleh pahala.
Jika perbuatan yang dituntut syara’dikatakan sah, maka orang yang melaksanakannya dikatakan telah menunaikan tuntutan, lepaslah dari tanggung jawab, tidak dituntut hukuman dunia maupun di akhirat bahkan ia akan mendapatkan pahala di akhirat kelak.
Menurut para ulama, bahwa setiap perbuatan apakah ibadah maupun muamalah adalah tujuannya untuk mencpai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat dalam hal ini termasuk semua macam perjanjian mengandung dua tujuan pokok ialah memenuhi tuntutan syara’ dan  untuk mencapai dan mewujudkan kemaslahatan hidup.
Menurut para ulama dalam kalangan mazhab Syafi’i kedua tujuan ini terdapat baik dalam ibadah dan muamalah yang diantaranya perjanjian, namun tujuan pertama lebih menonjol. Karena itu setiap perjanjian yang tidak memenuhi tuntutan syara’ dianggap batal dan lawannya sah. Jadi menurut para ulama dalam kalangan madzab Syafi’i tidak ada perbedaan antara ibadah dan muamalah, dalam keduanya berlaku sah atau batal.
Namun, sebagian ulama dalam kalangan madzab Hanafi mengatakan dalam tujuan perjanjian, tujuan kedua lebih menonjol karena itu mereka membedakan ibadah dan muamalah. Dalam ibadah mereka sependapat dengan para ulama dalam kalangan madzab Syafi’i hanya berlaku dua hal ialah sah dan batal.[9]



KESIMPULAN       

1.      Pengertian hukum Syara’Secara etimologis, hukum berarti mencegah, putusan. Adapun secara terminologis, adalah tuntutan Allah Swt yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah atau azimah.
2.      Pembagian hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian yaitu:
Ø  Wajib
Ø  Haram
Ø  Sunah
Ø  Makruh
Ø  Mubah
3.    Pembagian hukum wadh’i terbagi menjadi lima bagian yaitu:
Ø  Sebab
Ø  Syarat
Ø  Mani
Ø  Azimah & rukhsah
Ø  Sah dan batal



DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos, 1997).
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).
Syukur, M. Asywadie. Pengantar Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1990).
Bakry, Nazar. Fiqh Dan Ushul Fiqh. (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003).
Wahab Khallaf, Syekh Abdul. Ilmu Ushul Fiqh Terj. Halimuddin. (Jakarta: Rineka Cipta, 2005).
 Koto, Alaidin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. (Jakarta: Grasindo Persada, 2009).









[1] Nasrun Haroen,Ushul Fiqh I,(Jakarta: Logos,1997),207
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), 27
[3] M. Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih Dan Ushul Fiqih, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990), 159
[4] Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2003), 154-155
[5] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Terj. Halimuddin, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 141
[6] Ibid, 144
[7] Alaidin Koto, Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih(Jakarta:Grasindo Persada,2009), 49-52
[8]M.  Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh, 178-179
[9] M.  Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh,185-186

Tidak ada komentar:

Posting Komentar