A. Sejarah
Kraton
Yogyakarta adalah istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang
berlokasi di jantung kota Yogyakarta. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi
telah bergabung dalam NKRI pada tahun 1950, namun komplek keraton ini masih berfungsi
sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan
tradisi kesultanan hingga saat ini. Kraton ini kini juga merupakan salah satu
objek wisata favorit yang paling sering dikunjungi di kota Jogja. Sebagian
kompleks kraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik
kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka
keraton, kereta kencana dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini
merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki
beberapa balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
Kraton
Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755. Lokasi
keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja
Mataram yang akan dikebumikan di Imogiri
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang
bernamaGarjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat
iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan
dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul
Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton
Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar
Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping
Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti
yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan
Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan
Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)[4][5]. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang
berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton
Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya.
Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula
mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995
Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.[1]
B. STRUKTUR BANGUNAN KERATON YOGYAKARTA
Keraton
Yogya terletak di sebuah kompleks luas yang terbagi dalam beberapa bagian.
Secara garis besar bangunan Keraton Yogya dapat dibagi menjadi tiga bagian
utama dengan kompleks dan bangunan di dalamnya.
C. MAKNA TATA RUANG KERATON YOGYAKARTA
Setelah
diguncang gempa tahun 1867, Keraton mengalami kerusakan berat. Pada masa HB VII
tahun 1889, bangunan tersebut dipugar. Meski tata letaknya masih dipertahankan,
namun bentuk bangunan diubah seperti yang terlihat sekarang.
Tugu dan Bangsal Manguntur Tangkil atau Bangsal
Kencana (tempat singgasana raja), terletak dalam garis lurus, ini mengandung arti,
ketika Sultan duduk di singgasananya dan memandang ke arah Tugu, maka beliau
akan selalu mengingat rakyatnya (manunggaling kawula gusti).
Tatanan
Keraton sama seperti Kraton Dinasti Mataram pada umumnya. Bangsal Kencana yang
menjadi tempat raja memerintah, menyatu dengan Bangsal Prabayeksa sebagai
tempat menyimpan senjata-senjata pusaka Kraton (di ruangan ini terdapat lampu
minyak Kyai Wiji, yang selalu dijaga abdi dalem agar tidak padam), berfungsi
sebagai pusat. Bangsal tersebut dilingkupi oleh pelataran Kedhaton, sehingga
untuk mencapai pusat, harus melewati halaman yang berlapis-lapis menyerupai
rangkaian bewa (ombak) di atas lautan.
Tatanan
spasial Keraton ini sangat mirip dengan konstelasi gunung dan dataran Jambu
Dwipa, yang dipandang sebagai benua pusatnya jagad raya.
Dari utara ke selatan area Kraton berturut-turut terdapat Alun-Alun Utara, Siti Hinggil Utara, Kemandhungan Utara, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan, Kemandhungan Selatan, Siti Hinggil Selatan dan Alun-Alun Selatan (pelataran yang terlindung dinding tinggi).Sedangkan pintu yang harus dilalui untuk sampai ke masing-masing tempat berjumlah sembilan, disebut Regol. Dari utara terdapat gerbang, pangurukan, tarub, agung, brajanala, srimanganti, kemagangan, gadhung mlati, kemandhungan dan gading. Brongtodiningrat memandang penting bilangan ini, sebagai bilangan tertinggi yang menggambarkan kesempurnaan. Hal ini terkait dengan sembilan lubang dalam diri manusia yang lazim disebut babahan hawa sanga. Kesakralan setiap bangunan Kraton, diindikasikan dari frekuensi serta intensitas kegiatan Sultan pada tempat tersebut.
Dari utara ke selatan area Kraton berturut-turut terdapat Alun-Alun Utara, Siti Hinggil Utara, Kemandhungan Utara, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan, Kemandhungan Selatan, Siti Hinggil Selatan dan Alun-Alun Selatan (pelataran yang terlindung dinding tinggi).Sedangkan pintu yang harus dilalui untuk sampai ke masing-masing tempat berjumlah sembilan, disebut Regol. Dari utara terdapat gerbang, pangurukan, tarub, agung, brajanala, srimanganti, kemagangan, gadhung mlati, kemandhungan dan gading. Brongtodiningrat memandang penting bilangan ini, sebagai bilangan tertinggi yang menggambarkan kesempurnaan. Hal ini terkait dengan sembilan lubang dalam diri manusia yang lazim disebut babahan hawa sanga. Kesakralan setiap bangunan Kraton, diindikasikan dari frekuensi serta intensitas kegiatan Sultan pada tempat tersebut.
Alun-Alun,
Pagelaran, dan Siti Hinggil, pada tempat ini Sultan hanya hadir tiga kali dalam
setahun, yakni pada saat Pisowan Ageng Grebeg Maulud, Sawal dan Besar. Serta
kesempatan yang sangat insidental yang sangat khusus misal pada saat penobatan
Sultan dan Penobatan Putra Mahkota atau Pangeran Adipati Anom.
Kraton Yogyakarta memanglah bangunan tua, pernah rusak dan dipugar. Dilihat sekilas seperti bangunan Kraton umumnya.
Kraton Yogyakarta memanglah bangunan tua, pernah rusak dan dipugar. Dilihat sekilas seperti bangunan Kraton umumnya.
Tetapi
bila kita mendalami Kraton Yogyakarta, yang merupakan contoh terbesar dan
terindah dengan makna simbolis, sebuah filosofi kehidupan, hakikat seorang
manusia, bagaimana alam bekerja dan manusia menjalani hidupnya dan berbagai
perlambangan eksistensi kehidupan terpendam di dalamnya.
D. Fungsi Dan Manfaat Keraton Jogjakarta
Ø Fungsi Kraton dibagi menjadi dua yaitu fungsi
Kraton pada masa lalu dan fungsi Kraton pada masa kini.
a.
Fungsi Kraton pada masa lalu, pada masa lalu keraton
berfungsi sebagai tempat tinggal para raja. Kraton didirikan pada tahun 1756,
selain itu di bagian selatan dari Kraton ini, terdapat komplek kesatriaan yang
digunakan sebagai sekolah putra-putra sultan. Sekolah mereka dipisahkan dari
sekolah rakyat karena memang sudah merupakan aturan pada Kraton bahwa putra-
putra sultan tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah yang sama dengan rakyat.
b.
Fungsi Kraton pada masa kini adalah sebagai tempat wisata
yang dapat dikunjungi oleh siapapun baik turis domestik maupun mancanegara.
Selain sebagai tempat untuk berwisata, tidak terlupakan pula fungsi Kraton yang
bertahan dari dulu sampai sekarang yaitu sebagai tempat tinggal Sultan.
Pada saat kita akan memasuki halaman kedua dari Kraton, terdapat gerbang dimana di depannya terdapat dua buah arca. Setiap arca ini memiliki arti yang berlawanan. Arca yang berada di sebelah kanan disebut Cingkorobolo yang melambangkan kebaikan, sementara itu arca yang terletak di sebelah kiri disebut Boloupotu yang melambangkan kejahatan. Selain itu kami juga mendapatkan sedikit informasi tentang Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan ke IX dari Kraton Yogyakarta ini lahir pada tanggal 12 April 1940 dan wafat dalam usianya yang ke 48 yaitu pada tanggal 3 Oktober 1988. Ia memiliki berbagai macam hobi, diantaranya adalah menari, mendalang, memainkan wayang, dan yang terakhir memotret. Sultan ini memiliki suatu semboyan yang terkenal yaitu, “ Tahta untuk rakyat”.
Pada saat kita akan memasuki halaman kedua dari Kraton, terdapat gerbang dimana di depannya terdapat dua buah arca. Setiap arca ini memiliki arti yang berlawanan. Arca yang berada di sebelah kanan disebut Cingkorobolo yang melambangkan kebaikan, sementara itu arca yang terletak di sebelah kiri disebut Boloupotu yang melambangkan kejahatan. Selain itu kami juga mendapatkan sedikit informasi tentang Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan ke IX dari Kraton Yogyakarta ini lahir pada tanggal 12 April 1940 dan wafat dalam usianya yang ke 48 yaitu pada tanggal 3 Oktober 1988. Ia memiliki berbagai macam hobi, diantaranya adalah menari, mendalang, memainkan wayang, dan yang terakhir memotret. Sultan ini memiliki suatu semboyan yang terkenal yaitu, “ Tahta untuk rakyat”.
Ø Manfaat Keraton Jogjakarta
Manfaat yang dimiliki Kraton Yogyakarta
selain menjadi pusat tempat untuk pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta,
juga sebagai tempat Cagar Budaya yang harus dilestarikan oleh semua orang
khususnya warga Jogjakarta itu sendiri, karena Kraton Yogyakarta merupakan
warisan kebudayaan Nasional yang masih bertahan dalam mempertahankan fungsinya
hingga saat ini. Selain itu, Kraton Yogyakarta masih memiliki manfaat lain,
yakni sebagai objek pariwisata yang dapat menambah ilmu bagi wisatawannya,
menambah kekhasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan menambah jumlah pendapatan
daerah DIY.[2]
E. KERATON YOGYAKARTA SEBAGAI OBJEK WISATA
BUDAYA
Keraton
Yogyakarta sarat dengan nilai estetis atau keindahan budaya Jawanya yang khas.
Di samping sebagai pusat budaya Jawa, Keraton Yogyakarta juga menjadi daya
tarik tersendiri bagi para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan
asing. Banyak sekali turis asing yang datang ke Keraton Yogyakarta
mengingat bahwa Yogyakarta merupakan salah satu kota bersejarah di Indonesia
dan tempat kediaman gubernurnya ada di Keraton Yogyakarta.
Keraton
Yogyakarta sebagai pusat budaya Jawa dan sekaligus sebagai Cultural
Tourist Object, dihadapkan pada tantangan yang semakin berat dan
kompleks. Untuk itu, perbaikan dan pembenahan mutlak dilakukan supaya
eksistensi sebagai pusat aktivitas, pengabdian, dan pengembangan budaya Jawa
tetap terjaga. Salah satu pembenahan yang dilakukan Keraton adalah penataan
internal menyangkut sumberdaya manusia. Pembenahan ini sebenarnya sudah
dilakukan sejak lama yaitu pada saat Peringatan Naik Tahta ke-12 dan sampai
sekarang masih tetap dilakukan. Semua itu dilakukan agar Keraton dapat memikat
hati siapapun yang melihatnya dengan berbagai keindahan yang dimilikinya.
Upacara
Adat “Grebeg” Di Kraton Yogyakarta
Upacara
Adat Grebeg Keraton Yogyakarta merupakan upacara adat yang diadakan sebagai
kewajiban sultan untuk menyebarkan dan melindungi agama Islam. Upacara yang
lebih dikenal dengan nama grebeg ini pertama kali diadakan oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono I (1755—1792).
Nama
grebeg sendiri berasal dari peristiwa miyos atau keluarnya sultan dari dalam
istana bersama keluarga dan kerabatnya untuk memberikan gunungan kepada
rakyatnya. Peristiwa keluarnya sultan dan keluarganya ini diibaratkan seperti
suara tiupan angin yang cukup keras, sehingga menimbulkan bunyi grebeg...
grebeg...grebeg...
Upacara
Grebeg diadakan tiga kali dalam setahun, pada tanggal-tanggal yang berkaitan
dengan hari besar agama Islam, yakni Grebeg Syawal, Grebeg Maulud, dan Grebeg
Besar. Grebeg Syawal dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan syukur dari keraton
setelah melampaui bulan puasa, dan sekaligus untuk menyambut datangnya bulan
Syawal. Grebeg Maulud diadakan untuk merayakan dan memperingati hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan
Grebeg Besar, diselenggarakan untuk merayakan Idul Adha yang terjadi dalam
bulan Zulhijah, yang dalam kalender Jawa sering disebut sebagai bulan besar.
Upacara
Grebeg ini dimulai dengan parade prajurit keraton. Di dalam Keraton Yogyakarta,
terdapat sepuluh kelompok prajurit, yakni: Wirobrojo, Daheng, Patangpuluh,
Jagakarya, Prawirotama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis, dan Surakarsa.
Satu per satu, delapan kelompok prajurit keluar dari Siti Hinggil melewati
Pagelaran dan berhenti di Alun-alun Utara dengan formasi barisan khasnya.
Masing-masing kelompok menggunakan pakaian kebesaran prajurit, membawa senjata
khusus, panji-panji, seraya memainkan alat musik. Usai delapan kelompok
prajurit keluar, barisan dilanjutkan dengan keluarnya Manggala Yudha (panglima
keraton). Di akhir parade, gunungan dibawa keluar dari Siti Hinggil dengan
diiringi oleh dua kelompok prajurit sisanya.
Gunungan
merupakan tumpukan makanan yang menyerupai gunung, yang menjadi ciri khas dalam
setiap Upacara Grebeg. Gunungan terdiri dari berbagai hasil bumi, dan merupakan
simbol dari kemakmuran Keraton Yogyakarta, yang nantinya akan dibagikan kepada
rakyatnya. Dalam perayaan grebeg, terdapat enam jenis gunungan, masing-masing
memiliki bentuk yang berbeda dan terdiri dari jenis makanan yang berbeda pula.
Gunungan dharat merupakan gunungan yang puncaknya berhamparkan kue besar
berbentuk lempengan yang berwarna hitam dan di sekelilingnya ditancapi dengan
ilat-ilatan, yaitu kue ketan yang berbentuk lidah. Gunungan gepak merupakan
gunungan yang terdiri dari empat puluh buah keranjang yang berisi aneka ragam
kue-kue kecil dengan lima macam warna, yaitu merah, biru, kuning, hijau, dan
hitam. Gunungan kutug/bromo terdiri dari beraneka ragam kue-kue yang di bagian
puncaknya diberi lubang, sehingga tampak sebuah anglo berisi bara yang membakar
kemenyan.
Gunungan
lanang pada bagian puncaknya ditancapi kue dari tepung beras yang disebut
mustaka (kepala).
Gunungan
ini terdiri dari rangkaian kacang panjang, cabe merah, telur itik, dan ketan.
Gunungan wadon merupakan gunungan yang terdiri dari beraneka ragam kue-kue
kecil dan juga kue ketan. Gunungan pawuhan merupakan gunungan yang bentuknya
mirip dengan gunungan wadon, namun pada bagian puncaknya ditancapi bendera
kecil berwarna putih.
Gunungan-gunungan
ini kemudian dibawa menuju Alun-alun Utara. Saat itulah, prajurit keraton yang
sudah berbaris di sana memberikan salvo (tembakan serentak sejumlah senapan),
sebagai tanda penghormatan. Usai tanda penghormatan diberikan, dengan diiringi
oleh seluruh prajurit, gunungan dibawa menuju Masjid Gedhe Kauman untuk
didoakan oleh penghulu masjid. Setelah didoakan, gunungan diturunkan agar bisa
diambil oleh pengunjung yang sudah menantikan kedatangannya di sekitar Masjid
Gedhe Kauman. Begitu diturunkan, pengunjung segera berebut untuk mengambil
makanan apapun yang disusun dalam gunungan. Mereka yang berebut makanan ini percaya
bahwa makanan yang ada dalam gunungan tersebut dapat mendatangkan berkah dan
kesejahteraan. Beberapa jenis makanan ada yang dipercaya jika ditanam di sawah
ataupun di kebun dapat menyuburkan tanah, sehingga hasil panennya akan baik.
Keseluruhan
Upacara Grebeg diadakan di tiga tempat berbeda, namun letaknya berdekatan.
Upacara berawal di Pagelaran Keraton Yogyakarta, kemudian berjalan melewati
Alun-alun Utara, dan berakhir di Masjid Gedhe Kauman. Semuanya terletak di Kota
Yogyakarta, Provinsi DIY, Indonesia.
Busana
Kraton Yogyakarta
Busana
atau pakaian adalah ekspresi budaya Pakaian dengan berbagai lambang simboliknya
mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai budaya masyarakat pemakainya. Demikian
pula bagi masyarakat Jawa lebih-lebih kalangan kraton atau bangsawan. Secara
keseluruhan penampilan busana yang megah dan mewah dalam suatu upacara ritual
juga merupakan jaminan legitimasi power dari pemakainya Di sini terlihat bahwa
penyajian busana adat kraton tidak dapat dipisahkan dari posisi dan kedudukan pemakainya.
Oleh karena itu orang yang berderajat sama harus memperhitungkan jauh dekatnya
hubungan dengan raja. Misalnya sama-sama putra raja yang satu lahir dari
permaisuri satunya lahir dari garwa ampeyan (selir).
Beberapa
corak kain tidak diijinkan dipergunakan oleh mereka yang tidak memiliki
hubungan darah dengan raja. Bahkan ada yang khusus dirancang untuk pribadi
sultan. Misal batik motif kawung dan motif huk pada masa Hamengku Buwana VII.
Motif huk tergolong motif non geometris yang terdiri motif kerang (lambang dari
air atau dunia bawah yang bermakna lapang hati), binatang, (gambaran watak
sentosa dan pemberi kemakmuran) cakra, burung, sawat (ungkapan ketabahan hati)
dan garuda. Oleh karena itu seorang pemimpin atau raja diharapkan berbudi luhur
dapat memberi kemakmuran pada rakyat dan selalu tabah menjalankan roda
pemerintahan.
Pada masa
Hamenku Buwana VIII corak parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat
kebangsawanan seseorang. Tiga motif batik lain yang menjadi standar istana
adalah coak semen (dari kata semi yang artinya tumbuh), sawat (pemakainya
diharapkan memperoleh kemakmuran, kewibawaan dan perlindungan), udan riris/udan
liris (artinya hujan gerimis, pengharapan agar selamat, sejahtera, tabah dan
dapat menjalankan kewajiban dengan baik).
Secara garis besar busana sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni busana untuk sehari-hari atau non formal dan busana untuk kegiatan formal atau resmi.
Secara garis besar busana sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni busana untuk sehari-hari atau non formal dan busana untuk kegiatan formal atau resmi.
Busana
resmi terbagi dua yaitu untuk upacara alit dan upacara ageng. Upacara alit
misalnya tetesan (khitan untuk anak perempun), tarapan (haid pertama kali) dan
tingalan dalem padintenan (peringatan penobatan raja berdasarkan perhitungan
hari dan pasaran Jawa misal Selasa Kliwon). Upacara ageng misalnya supitan
(khitan), perkawinan kerabat kraton, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem,
Agustusan dan sedan (pemakaman jenazah raja).
Busana
sehari-hari putri sultan yang masih kecil adalah sabukwala yang terdiri tiga
macam yaitu sabukwala nyamping batik untuk busana sehari-hari dan upacara alit,
sabukwala nyamping praos untuk resepsi tetesan yang bersamaan supitan dan
sabukwala nyamping cindhe untuk upacara garebeg dan tetesan tidak bersamaan
dengan supitan. Untuk putra laki-laki mengenakan busana kencongan, baju surjan,
lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok/timang dari
suwasa (emas berkadar rendah).
Untuk
putri sultan praremaja atau peralihan dari anak-anak ke remaja (biasanya
berusia 11 sampai 14 tahun) mengenakan busana pinjungan.
Busana
ini dikenakan dengan cara melipat ujung kain sebelah dalam dibentuk segitiga
sebagai hiasan penutup dada. Busana pinjungan dibedakan menjadi pinjung harian,
pinjung bepergian, pinjung upacara alit dan pinjung untuk upacara garebeg.
Untuk remaja dan dewasa dalam keseharian mengenakan busana semekanan (dari kata semekan berupa kain panjang dengan lebar separo dari lebar kain biasa berfungsi sebagai penutup dada). Untuk remaja atau putri yang belum menikah semekan polos tanpa tengahan tanpa hiasan kain sutra di tengahnya. Bagi yang sudah menikah semekan tritik dengan tengahan.
Untuk remaja dan dewasa dalam keseharian mengenakan busana semekanan (dari kata semekan berupa kain panjang dengan lebar separo dari lebar kain biasa berfungsi sebagai penutup dada). Untuk remaja atau putri yang belum menikah semekan polos tanpa tengahan tanpa hiasan kain sutra di tengahnya. Bagi yang sudah menikah semekan tritik dengan tengahan.
Bagi pria
remaja atau dewasa dalam kesehariannya mengenakan baju surjan, kain batik
dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, destar sebagai
penutup kepala. Busana untuk upacara ageng adalah busana keprabon khusus untuk
putra sultan. Jenis busana keprabon untuk pria terdiri dari busana dodotan,
busana kanigaran dan busana kaprajuritan.
Berbagai
ragam busana adat dengan perlengkapan-perlengkapannya tersebut ternyata tidak
hanya sekedar untuk menunjukkan status kebangsawanan, kemegahan dan kemewahan
tetapi juga mengandung makna simbolis. Misalnya sangsangan sungsun (kalung
bersusun) merupakan perlambang tiga tingkatan kehidupan manusia dari lahir,
menikah dan mati yang dihubungkan dengan konsepsi Jawa tentang alam baka, alam
antara dan alam fana. Binggel kana (gelang) berbentuk melingkar tanpa ujung
pangkal bermakna lambang keabadiaan, Bentuk gunungan (meru) pada pethat (sisir)
melambangkan keagungan Tuhan dan harapan terciptanya kebahagiaan. Hiasan
sanggul berupa ceplok dengan jenehan terdiri tiga warna merah, hijau dan kuning
(biasa dikenakan untuk pengantin putri) merupakan lambang Trimurti, tiga dewa
pemberi kehidupan.
Perlengkapan
Kebesaran Kraton Yogyakarta
KK
Ampilan sebenarnya
merupakan satu set benda-benda penanda martabat Sultan. Benda-benda
tersebut adalah Dampar Kencana (singgasana emas)
berikutPancadan atau Amparan (tempat tumpuan kaki Sultan di muka singgasana)
dan Dampar Cepuri (untuk meletakkan seperangkat sirih pinang di
sebelah kanan singgasana Sultan);Panah (anak panah); Gendhewa (busur panah); Pedang; Tameng (perisai); Elar
Badhak(kipas dari bulu merak); Kereta Kencana Alquran (manuskrip
Kitab Suci tulisan tangan);Sajadah (karpet/tikar
ibadah); Songsong (payung kebesaran); dan beberapa Tombak.
Kereta
Kencana Ampilan ini
selalu berada di sekitar Sultan saat upacara resmi
kerajaan
(royal ceremony) diselenggarakan. Berbeda dengan Upocoro,
pusaka Ampilandibawa oleh sekelompok ibu-ibu atau nenek-nenek yang
sudah sepuh.
Gamelan
Gamelan
merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga
nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem
skala pelog. Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set ansambel
gamelan pusaka, 16 diantaranya digunakan sedangkan sisanya (KK Bremara dan KK Panji)
dalam kondisi yang kurang baik. Setiap gamelan memiliki nama kehormatan
sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Tiga buah gamelan dari berasal dari
zaman sebelum Perjanjian Giyanti dan lima belas sisanya berasal dari zaman
Kesultanan Yogyakarta. Tiga gamelan tersebut adalah gamelan monggang yang
bernama KK Guntur Laut, gamelan kodhok ngorek yang bernama KK
Maeso Ganggang, dan gamelan sekati yang bernama KKGuntur Madu.
Ketiganya merupakan gamelan terkeramat dan hanya dimainkan/dibunyikan pada
even-even tertentu saja.
Gamelan
monggang KK Guntur Laut konon berasal dari zaman Majapahit.
Gamelan yang dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan sebuah
ansambel sederhana yang terdiri dari tiga buah nada dalam sistem skala slendro.
Pada zamannya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat
penting yaitu upacara pelantikan/pemahkotaan Sultan, mengiringi keberangkatan
Sultan dari istana untuk menghadiri upacara penting, perayaan maleman (upacara
pada malam tanggal 21,23,25, dan 29 bulan Ramadan), pernikahan kerajaan,
upacara garebeg, dan upacara pemakaman Sultan. Gamelan ini memiliki nilai
sejarah penting. Atas perkenan Sunan PB III, KK Guntur laut dimainkan saat
penyambutan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada penandatanganan Perjanjian Giyanti
di tahun 1755.
Maeso
Ganggang juga
merupakan gamelan kuno yang konon juga berasal dari zaman Majapahit. Gamelan
kodhok ngorek ini juga menggunakan sistem skala slendro. Gamelan
ini didapatkan oleh Pangeran Mangkubumi dari Perjanjian Giyanti. Penggunaannya
juga sangat sakral dan selalu dimainkan pada upacara kenegaraan seperti upacara
pemahkotaan Sultan dan pernikahan kerajaan.
Gamelan
nomor dua di Keraton ini juga dimainkan dalam peringatan ulang tahun Sultan,
upacara sunatan putra Sultan, dan untuk megiringi prosesi Gunungan ke Masjid
Besar. Gamelan sekati KK Guntur Madu dimainkan di Pagongan
Kidul saat Upacara Sekaten, serta dalam upacara sunatan dan pernikahan Putra
Mahkota. Konon gamelan ini berasal dari zaman Kesultanan Demak. Versi lain
mengatakan alat musik ini buatan Sultan Agung saat memerintah kerajaan Mataram.
Gamelan ini menjadi milik Kesultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti
sementara pasangannya KK Guntur Sari menjadi milik Kesunanan
Surakarta.
Agar
gamelan sekati ini tetap berjumlah sepasang maka dibuatlah duplikatnya (jw.
dipun putrani) dan diberi nama KK Naga Wilaga yang dibunyikan
di Pagongan Utara. Kekhususan gamelan ini adalah bentuknya yang lebih besar
dari gamelan umumnya dan instrumen kendhang (gendang) yang mencerminkan
Hinduisme digantikan oleh bedugkecil (dianggap mencerminkan Islam).
KK Guntur
Sari dipergunakan untuk mengiringi Beksan
Lawung, sebuah tarian sakral, pada upacara pernikahan putra Sultan. KK
Surak diperdengarkan untuk mengiringiuyon-uyon (lagu-lagu
tradisional Jawa), taritarian, dan wayang kulit. Gamelan-gamelan ada yang
berpasangan secara khusus antara lain KK Harja Nagara (dalam
skala slendro) dengan KK Harja Mulya (dalam
skala pelog) dan KK Madu Murti (dalam skala slendro)
dengan KK Madu Kusumo (dalam skala pelog).
Kereta
kuda
Pada
zamannya kereta kuda merupakan alat transportasi penting bagi masyarakat
tak terkecuali Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta memiliki bermacam
kereta kuda mulai dari kereta untuk bersantai dalam acara non formal
sampai kereta kebesaran yang digunakan secara resmi oleh raja. Kereta kebesaran
tersebut sebanding dengan mobil berplat nopol Indonesia 1 atau Indonesia
2 (mobil resmi presiden dan wakil presiden Indonesia). Kebanyakan kereta
kuda adalah buatan Eropa terutama Negeri Belanda walaupun ada beberapa
yang dibuat di Roto Wijayan (misal KK Jetayu).
Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan Hamengku Buono I
sampai dengan Sultan HB IV. Kereta kuda ini merupakan pemberian
Gubernur Jenderal Jacob Mossel.KK Garudho Yakso merupakan
kereta kebesaran Sultan Hamengku Buono I VI sampai Hamengku Buono I X (walaupun dalam
kenyataannya Sultan Hamengku Buono I IX dan Hamengku Buono I X sudah
menggunakan mobil).
Kereta
kuda buatan Den Haag tahun 1861 ini terakhir kali digunakan pada tahun 1989,
saat prosesi Kirab Jumenengan Dalem (perarakan pemahkotaan
raja). KK Wimono Putro adalah kereta yang digunakan oleh Pangeran
Adipati Anom (Putra Mahkota). KK Jetayu merupakan
kendaraan yang digunakan Sultan untuk menghadiri acara semi resmi. KK
Roto Praloyo merupakan kereta jenazah yang hanya digunakan untuk
membawa jenazah Sultan.
Karena
konon kereta ini baru digunakan dua kali yaitu pada saat pemakaman Sultan
Hamengku Buono I VIII dan Hamengku Buono I IX. K Harsunaba adalah
kendaraan yang digunakan dalam resepsi pernikahan, sementara K
Jongwiyat, K Manik Retno, K Jaladara dan K
Mondro Juwolo kadang-kadang digunakan oleh Pangeran Diponegoro. Selain
itu juga terdapat kereta, K Noto Puro, K Roto Biru, K
Kutho Kaharjo, K Puspo Manik, Rejo Pawoko, Landower, Landower
Surabaya, Landower Wisman, Kus Gading,Kus nomor
10, dan lain-lain dan masing-masing kereta tersebut memiliki kegunaan
sendiri-sendiri.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar